Human and Econs Perception: When it comes to investing




Humans were eventually irrational creatures gifted with the power of rationality.

—L.E Modesitt Jr.

Written  by
Alya Defa Aninda

     Dalam bukunya, Nudge, Thaler mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk yang seringkali bertindak irasional dalam memilih dan memutuskan sesuatu karena mereka adalah homo sapiens dan bukan homo economicus. Wait.. apaan tuh?

     Jadi dalam buku-buku ekonomi, manusia sebagai homo economicus atau Econs digambarkan sebagai makhluk yang selalu mengambil keputusan berdasarkan logika, bertindak rasional di segala keadaan. Tetapi tidak... Kenyataannya manusia adalah human atau homo sapiens. Ia lebih sering menggunakan automatic system ketimbang reflexive system dalam kehidupan sehari-harinya. Automatic system memutuskan/melakukan sesuatu secara spontan, bahkan hampir tanpa melalui proses berpikir. Berbeda dengan reflexive system yang lebih in-control dan self-aware, lebih terencana.

     Jadi bagaimana? Percaya tidak kalau ternyata human memang mostly se-irasional itu? Mungkin pertanyan" dari pak Thaler dan Susteins ini bisa anda jawab dengan cepat.

1.Harga sebuah pemukul bola dan bola $1.10 jika ditotal. Harga pemukul bola $1.00 lebihnya harga bola. Berapa harga bola tsb?____sen

2.Jika dibutuhkan 5 menit bagi 5 mesin untuk membuat 5 widget, berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi 100 mesin untuk membuat 100 widget?____menit

3.Di sebuah danau ada sekumpulan bunga lili. Setiap hari kumpulan bunga lili tsb meluas 2x. Jika dibutuhkan 48 hari bagi bunga lili untuk menutupi seluruh permukaan danau, berapa lama waktu yg dibutuhkan bunga lili untuk menutup setengah dari permukaan danau?____hari

     Bagaimana? Apa jawaban kalian?
Most people answer 10 sen, 100 menit dan 24 hari. Eits.. tunggu dulu kalau kalian benar" mencermati dan memproses dengan reflexive system pasti jawabannya: 5 sen, 5 menit, dan 47 hari. Gubrakk😂

     Memang, manusia sering se-irasional itu. Lalu apakah ini ada hubungannya dengan investing? Khususnya di pasar modal? Pasti.. Karena jika semua orang mampu konsisten bertindak rasional dan memutuskan sesuatu logically, tidak akan ada yang namanya undervalue maupun overvalue di Wall Street maupun IHSG ( Indeks Harga Saham Gabungan Indonesia). Tidak akan ada bullish maupun bearish in the short run dan investasi saham tidak akan se roller coaster itu. Kenapa? Karena, rationally, harga saham akan naik jika hanya fundamental perusahaannya membaik. Dan harga saham akan turun jika hanya fundamentalnya turun. Tetapi faktanya, pergerakan harga saham jangka pendek, banyak dipengaruhi oleh faktor luar.

     Pasar saham ibaratnya dikendalikan oleh automatic system masing-masing penghuninya. Dalam bukunya, The Intelligent Investor, pak Benjamin Graham mengibaratkan Mr. Market (pasar modal) itu ibarat seseorang yang depresi lalu menawarkan barang ke anda dengan harga murah (undervalue). Dikemudian hari dia berubah menjadi Mr. Market yang over optimistic dan kemudian menjual barang yang sama dengan mematok harga yang sangat tinggi kepada anda (overvalue). Yaa kira-kira begitulah.

     Menurut Pak Peter Lynch dalam buku One up on wall street, ketidak logis-an di pasar modal , atau IHSG kalau di Indonesia, terjadi layaknya seperti para Greeks terdahulu yang memilih duduk dan berdebat tentang berapa banyak gigi kuda ketimbang mengecek langsung dan menghitungnya. Seperti perdebatan orang-orang tentang harga saham ketimbang langsung mengecek perusahaannya.

     Di kasus yang hampir serupa, konon pada jaman dahulu suara ayam berkokok yang menyebabkan matahari terbit karena orang-orang mengidentikkan dua hal itu. Padahal tentu saja tidak kan? Jadi ketika Pak Lynch mendengar cuit-cuitan mengapa harga saham A naik mengapa turun dalam jangka pendek. Ia akan selalu ingat 2 hal itu. Relatable dengan fenomena yang terjadi di pasar modal bukan?

     Lalu apa yang menyebabkan Mr. Market se-volatile itu dalam jangka pendek? Jawabannya 2.. Fear and Greed. Ketakutan dan keserakahan. Bukankah manusia memang selalu diantara 2 pilihan itu dan tidak pernah tidak? 

     Saya ingat waktu BEI (Bursa Efek Indonesia) menerapkan aturan free float. Akibatnya banyak yang terkena panic selling. Human dengan Automatic system ditambah fear-nya mengatakan jual, jual, jual!!! Banyak dari mereka menjual saham-saham berkapitalisasi besar menyebabkan penurunan harga secara signifikan. Di lain sisi, Econs dengan reflexive system-nya akan mengatakan hold, beli lagi, average down!!! Ini adalah kesempatan mendapat perusahaan bagus dengan harga diskon loh..hehe kenapa malah dijual? Selagi fundamental perusahaan baik dan tidak memburuk, why not?

     Di pasar modal, sebenarnya lebih dibutuhkan EQ daripada IQ. How come? Pertama, menurut Pak Peter Lynch, fund manager legendaris, dalam bukunya One Up On a Wall Street, perhitungan matematika yang dibutuhkan untuk mengikuti pasar modal sudah didapatkan semuanya di kelas 4. Menurutnya, investing adalah sebuah seni, bukan sebuah science. Apakah anda setuju?

      Baiklah, kita akan mencoba flashback ke jaman dahulu. Siapa disini yang tidak kenal si genius Sir Issac Newton? Percaya tidak kalau dia dulunya seorang investor loh. Naasnya, when it came to investing, dia kehilangan lebih dari $3 million kalau dikonversikan ke uang sekarang karena dia terjebak over entusiasme market. Sampai dia berkata kalau dia bisa menghitung berat benda-benda di luar angkasa, tetapi dia tidak bisa menghitung kegilaan orang-orang.

     Jadi apakah investasi saham seaaman itu? Regulasi pasar modal di jaman sekarang sudah diatur sedemikian ketatnya oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahkan perusahaan-perusahaan publik yang telat mengeluarkan laporan keuanganpun akan mendapat tattoo oleh BEI agar investor jeli dan waspada. BEI juga sudah menerapkan sistem Auto Reject Atas dan Auto Reject Bawah. Mereka dengan sigap selalu mengingatkan investor ketika terjadi Unusual market activity. Selain itu, segala jenis investasi di Indonesia harus mendapat izin dari OJK. Tetapi, kenapa masih ada yang terjebak investasi bodong dan kenapa masih ada yang rugi besar? Balik lagi ke manusianya. Apakah dia mau meminimalisir resiko dengan rajin membaca dan belajar atau tidak.

     Lalu kapankah waktu terbaik untuk memulai berinvestasi? Waktu terbaik untuk membeli saham dan aset- aset berharga adalah saat ini. Ya! Kapan lagi kalau bukan sekarang? Waktu terbaik kedua adalah saat krisis, percaya tidak percaya. Seperti kata pak Winston Churchill, "never let a crisis go to waste". Waktu terbaik berikutnya adalah saat market crash. Siapa yang tidak mau membeli Chanel dengan harga Uniqlo?

    Nah, membaca rentetan huruf, kata dan fakta diatas, kita sebagai manusia pasti mempunyai berbagai pilihan dan sudut pandang. Ketika kita berpikir sejenak secara matang, sebenarnya hal-hal, kejadian yang tidak mengenakkan tersebut adalah peluang. Resiko selalu datang bersamaan dengan opportunity dan reward, tinggal kitanya saja bagaimana. 

     Ibarat kata Mark Zuckerberg, di dunia yang cepat berubah ini, satu-satunya hal yang dijamin gagal adalah dengan tidak mengambil resiko. Tetapi resiko yang bagaimana dulu? Resiko yang terkalkulasi dan terencana dengan baik mestinya. 

     Singkat cerita, sebenarnya semua akan terasa menjadi lebih baik jika semua orang mau belajar memahami dirinya sendiri dan tidak terburu-buru ingin mendapatkan banyak dalam waktu yang singkat. Dunia akan dirasa lebih baik jika semua orang mau belajar bersabar dan sabar dalam belajar. Hidup layaknya sebuah investasi, ia adalah proses. Seinstan-instannya sesuatu tetap butuh proses. Tinggal diri kita yang mau belajar dan berproses atau tidak. Risk dan opportunity selalu datang bersamaan, tinggal kita mau memilih yang mana. Tinggal kita mau melihat dari perspektif siapa, apakah dari seorang human atau seorang econs?


Reference book:
Nudge by Richard H Thaler & Susteins
The Intelligent Investor by Benjamin Graham
One Up on Wall Street by Peter Lynch

Pic by Pexels Pixabay

Comments